Thursday, December 29, 2011

Senja Di Himalaya






Category: Books
Genre: Literature & Fiction
Author: Kiran Desai
Judul : Senja di Himalaya
Judul Asli : The Inheritance of Loss
Penulis : Kiran Desai
Penerjemah : Rikka Iffati Farihah
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : 542 hal

Senja di Himalaya adalah novel terjemahan dari The Inheritance of Loss karya penulis asal India Kiran Desai (37). Novel ini memenangkan Man Booker Prize for Fiction 2006. Penghargaan untuk novel terbaik sepanjang tahun yang ditulis oleh warga negara di negara persemakmuran Inggris dan Irlandia dimana novel tersebut harus diterbitkan dalam bahasa Inggris dan tidak dipublikasikan sendiri.

Novel ini merupakan sebuah kisah-kisah paralel yang berlatar India pasca-kolonial dan Amerika Serikat. Bersetting tahun 1980-an di perkampungan Kalimpong di pegunungan Himalaya, ceritanya berkisar pada beberapa tokoh utama dalam novel ini. Jemubhai Petel, atau yang dalam novel ini disebut ‘Sang hakim’ adalah laki-laki tua mantan hakim lulusan Cambridge yang kini menghabiskan masa pensiunnya di sebuah rumah tua yang diberi nama Cho Pyu bersama anjing kesayangannya dan seorang jurumasak setianya

Sai Petel, gadis berusia 16 tahun, cucu sang hakim yang menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya mengalami kecelakaan terpaksa harus meninggalkan sekolahnya dan tinggal bersama sang hakim di Cho Pyu. Di tempat kakeknya ini Sai jatuh hati pada Gyan guru les matematikanya , seorang mahasiswa Nepal dari sebuah perguruan tinggi ternama.

Tentu saja hubungan antara Sai dan Gyan tidak direstui oleh sang hakim karena perbedaan status, terlebih karena Gyan adalah orang Nepal, warga minoritas kelas dua dimata sang hakim. Walau awalnya Gyan mencintai Sai, namum Lambat laun sikap sang hakim dan Sai yang kebarat-baratan membuat Gyan membenci keduanya, apalagi kelak Gyan akan bergabung dengan kelompok separatis yang memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Nepal.

Sementara itu ribuan kilometer dari Kalimpong yang terpencil, Biju, anak dari juru masak sang hakim sedang berjuang memperoleh kehidupan yang layak sebagai seorang imigran gelap di New York – Amerika Serikat. Biju tersaruk-saruk dalam belantara kota New York dan bekerja sebagai pelayan restoran secara berpindah-pindah untuk menghindari kejaran pihak imigrasi. Satu-satunya penghubung antara Biju dengan ayahnya hanyalah melalui surat menyurat. Biju tak pernah mengeluh apapun soal kehidupannya kepada ayahnya, sehingga ayahnya selalu menganggap Biju telah hidup sukses di Amerika.


Kehidupan di Kalimpong yang damai terusik ketika kelompok separatis Nepal berdemonstrasi utnuk memperjuangkan kemerdekaannya. Demonstrasi damai tiba-tiba berubah menjadi kerusuhan. Kekerasan merebak di seluruh Kalimpong. Jam malam diberlakukan. Kalimpong terputus dari dunia luar. Disaat kerusuhan inilah Biju akhirnya memutuskan untuk pulang ke India untuk menemui ayahnya.

Kerusuhan ini juga menyebabkan hubungan antara Sai dan Gyan yang tergabung dalam kelompok separatis Nepal menjadi goyah. Terpengaruh oleh pandangan kelompoknya dan sikap sang hakim dan Sai yang kebarat-baratan membuat Gyan membenci keduanya.

Kisah diatas ditulis oleh Kiran Desai dalam novelnya ini dengan gaya bahasa percakapan yang sederhana antar tokoh-tokohnya, namun Desai juga menampilkan setting pendukungnya seperti tempat, karakter dan latar karakter tokoh-tokohnya dengan sangat detail. Paradoks inilah yang oleh para juri Booker Man Prize 2006 dianggap mampu membelenggu pembaca untuk bersimpati pada tokoh-tokoh dengan konfliknya masing-masing.

Dari tokoh Sang Hakim / Jemubhai Petel, kita akan disodorkan pada sosok India yang sudah kehilangan identitas ke-indiaannya dan mengalami post power syndrome ketika telah pensiun karena dia menganggap dirinya lebih tinggi statusnya dibanding masyarakt sekitarnya.

Sai Petel, Biju dan Gyan mewakili tokoh generasi muda India yang gamang, mencari jati diri diantara pertentangan nilai-nilai barat dan timur, dan efek sosial dan psikologis yang dirasakan oleh mereka karena berada di wilayah ‘antara’ budaya barat dan timur.

Salah satu bagian yang menarik dari novel ini adalah karakter Biju dan deskripsi kehidupannya sebagai imigran gelap di Amerika. Melalui karakter Biju kita akan mengetahui bagaimana para pemuda India sebagian besar beranggapan bahwa Amerika adalah tanah impian untuk meraih kesuksesan. Karenanya mereka berjuang mati-matian untuk memperoleh Green Card. Bagaimana Biju berjuang untuk memperoleh Green Card sangat menarik dan penuh dengan humor yang getir.

Ketika Green card gagal diperoleh, Biju dan sebagian besar kawan-kawannya tetap berangkat ke Amerika dengan cara illegal. Resikonya mereka harus pandai-pandai menyembunyikan diri dari pihak imigrasi Amerika. Atau kalau perlu mereka akan menikahi nenek-nenek warga Amerika guna memperoleh kewarnganegaraan Amerika. Selain itu, mereka yang telah berhasil tinggal di Amerika harus berusaha menghindar teman-teman sekampungnya yang baru datang ke Amerika karena khawatir mereka akan ditumpangi dan menimbulkan kesulitan baru ditengah kehidupan mereka yang sudah sedimikian sulit.

Seperti umumnya novel-novel peraih penghargaan sastra internasional, novel ini bukan novel yang mudah untuk dikunyah. Alur kisah tokoh-tokohnya tidak linier, kadang mundur jauh kebelakang lalu kembali lagi ke masa kini, sehingga perlu konsentrasi ekstra untuk membacanya. Kisahnyapun seakan hanya berputar-putar pada kehidupan tokoh-tokohnya, tak heran pembaca yang kurang sabar akan merasa jenuh dan tak tahan untuk menamatkan novel ini.

Ternyata kesulitan untuk menikmati novel inipun diakui oleh Kiran Desai sendiri. Dalam wawancaranya dengan wartawan Tempo - Angela Dewi (Koran Tempo, 28 Okt 2007), ketika Angela dengan jujur mengungkap bahwa ia butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan novel ini. Dengan tertawa Desai menyatakan, “Anda pembaca ke seribu yang berkata seperti itu”.

Menurut Desai novel keduanya ini yang dikerjakannya selama 7 tahun ini adalah hasil dari coretan-coretan panjang pada kertas setebal 1500 halaman dengan konflik yang lebih kompleks dari novel jadinya. Dan sebagian dari apa yang dikisahkannnya merupakan pengalaman pribadinya. Rumah Cho Oyu di Kalimpong memang benar-benar ada dan Desai pernah menginap selama beberapa hari disana.

Dengan kompleksitas pada novelnya ini Desai tampaknya mencoba menangkap makna hidup di wilayah antara timur dan barat dan bagaimana rasanya menjadi imigran. Apa jadinya sesuatu yang bukan barat diberi sentuhan dan terpapar pada hal-hal berbau barat. Apa jadinya jika orang-orang yang biasa hidup dalam kemiskinan tiba-tiba berada di negara yang kaya. Hal yang sebenarnya sudah terjadi saat kolonial Inggris menyentuh India, lalu sekarang terjadi lagi saat Amerikanisasi mulai menyentuh kehidupan orang India.

Menyoal Terjemahan dan Cover Terjemahan

Novel yang sulit tentu saja akan lebih sulit dipahami jika terjemahannya kurang baik. Selama membaca novel ini, saya menemukan beberapa kejanggalan terjemahan. Belum lagi membaca isinya, saya terperangah ketika membaca judul terjemahannya menjadi Senja di Himalaya, saya rasa terjemahan judul tersebut tidaklah pas. Memang setting cerita sebagian besar berkisar di desa Kalimpong di kaki gunung Himalaya, namun akan lebih elok jika diterjemahkan mendekati judul aslinya yang kira-kira bermakna ‘warisan yang hilang’ karena memang kisahnya mengenai ‘warisan’ budaya yang hilang akibat benturan tradisi barat paska kolonialisme di India.

Sedangkan dari segi isinya, beberapa terjemahan khususnya dalam kalimat-kalimat metafora, tampak terkesan dipaksakan diterjemahkan secara harafiah sehingga menjadi aneh dan lucu. Berikut beberapa terjemahan yang saya anggap tidak pas :
“Telepon itu duduk berjongkok di ruang tamu rumah penginapan tersebut” (hal 379).
“Dasar sampah!” Jemubhai berteriak dan, dari antara buah dada Nimi yang berduka,…(hal 278)
“…, pelan-pelan melunak, sampai pantatnya mulai menetes ke bawah kursi..” (hal 252)
“..seorang pria yang muncul dengan rekomendasi koyak yang diwarisi dari ayah dan kakek..(hl 108).

Sedangkan untuk cover novel terjemahannya, saya rasa ilustrasi cover dengan isi novel ini tidaklah cocok. Cover terjemahannya melukiskan wajah gadis India yang sedang terbaring diatas rerumputan. Apa maksudnya ? Apakah gadis ini adalah tokoh Sai ? Jikapun demikian tidaklah tepat karena novel ini tidak hanya menceritakan tokoh Sai, melainkan ada beberapa karakter utama yang memiliki porsi cerita yang sama banyaknya. Saya rasa cover aslinya berupa ilustrasi sebuah pohon lebih tepat, lebih indah, dan multi tafsir.

Jika kita cermati saat ini cover dengan wajah wanita timur mendominasi cover-cover buku kita, terlebih novel2 terbitan mizan group, sebut saja :

- My Salwa My Palestine – Ibahim Fatwal - Mizania
- Perempuan Terluka – Qaisra Shahraz - Mizan
- Taj Mahal, Kisah Cinta Abadi – John Shors - Mizan
- Taj – Timeri N. Murari - Mizan
- A Thousand Splendid Suns – Khaled Hosseini - Qanita
- Maya – Jostein Gaarder – Mizan

Apakah selera pasar memang menghendaki demikian? Apakah cover dengan ilustrasi wanita lebih ‘menjual’ dibanding ilsutrasi lain?
Ada pepatah mengatakan “don’t judge book by the cover”, memang benar! Isi sebuah buku tidak dapat dinilai hanya dengan covernya. Tapi alangkah baiknya jika cover sedapat mungkin mencerminkan isi dari sebuah buku.

Another Indonesian Books
Another Novel Books
Download

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails

Put Your Ads Here!