Friday, December 16, 2011

My Name is Red – Namaku Merah Kirmizi






My Name is Red – Namaku Merah Kirmizi
Oleh: Orhan Pamuk
ISBN : 9791112401
Rilis : 2006
Halaman : 726
Penerbit : Serambi
Bahasa : Indonesia
Sinopsis
Sebuah misteri pembunuhan yang menegangkan … sebuah perenungan mendalam tentang cinta dan kegigihan artistik … Namaku Merah Kirmizi bermula di Istanbul simbol tonggak kejayaan-Islam yang terakhir di ujung abad keenam belas, saat Sultan secara diam-diam menugaskan pembuatan sebuah buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya, yang dihiasi ilustrasi para seniman terkemuka saat itu. Ketika seorang seniman dibunuh secara misterius, seorang lelaki muram dengan masa silam sekelam namanya ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang pada akhirnya menguak jejak benturan peradaban Timur dan Barat dua cara pandang dunia yang berbeda, berkaitan dengan kebudayaan, sejarah, dan identitas yang memicu konflik tak berkesudahan. Melalui karya cemerlang ini, yang diramu dengan intrik seni dan politik, dongeng-dongeng klasik, serta kisah cinta bercabang yang getir, Orhan Pamuk pemenang Hadiah Nobel Sastra mengukuhkan dirinya sebagai salah satu novelis terbaik dunia saat ini. Novel ini paling tidak telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangkan sejumlah hadiah sastra internasional terkemuka, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2002 (Prancis), Premio Grinzane Cavour 2002 (Italia), dan International IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia) Bintang baru telah terbit di Timur: Orhan Pamuk. New York Times. Wonderful. Spectator. Magnificent. Observer. Unforgettable Guardian. Penulis novel Turki yang paling terkemuka dan salah seorang tokoh sastra yang paling menarik … Seorang pendongeng kelas satu. Times Literary Supplement


Resensi:
Masterpiece Sastra Rekonsiliasi
Yudhiarma
Meski hanya kisah fiksi, buku ini seolah-olah menguak akar tesis Samuel P Huntington tentang potensi “benturan antarperadaban”. Ramalan guru besar ilmu politik Universitas Harvard ini-bahwa masa depan dunia pasca Perang Dingin diwarnai konflik kebudayaan Barat-Timur-kian dipertegas Orhan Pamuk dengan mendeskripsikannya dalam novel ber-setting abad ke-XVI. Kisah yang banyak mengandung renungan filsafat ini mengangkat cerita era Dinasti Ottoman (Utsmaniyyah) yang menjadi episode pamungkas kejayaan imperium Islam di Turki.
Meski demikian, maha karya ini justru dipersembahkan sang penulis untuk membangun kesadaran bahwa perbedaan apa pun tak boleh dijadikan alasan untuk bertikai dan saling menumpahkan darah. Maka, lahirlah sebuah masterpiece sastra untuk tujuan-tujuan rekonsiliasi dua kultur besar dunia (Barat-Timur).
Novel “Namaku Merah Kirmizi”, menyuguhkan misteri pembunuhan yang menegangkan dan kontemplasi mendalam tentang cinta dan kegigihan artistik. Bermula di Istanbul-kota yang menjadi simbol peradaban Islam klasik-saat Sultan secara diam-diam menugaskan penulisan buku tentang riwayat kekuasaannya yang berhias ilustrasi para seniman terkemuka kala itu.
Ketika seorang seniman dibunuh secara misterius, lelaki muram bernama Hitam dengan masa silam sekelam namanya ditugasi untuk mengungkap kejahatan itu. Aksi heroik sang ksatria pada akhirnya menguak jejak “clash of civilization” Timur dan Barat-rivalitas destruktif akibat kesalahpahaman karena perbedaan budaya, sejarah dan identitas yang memicu konflik tak berkesudahan. Sepanjang petualangan Hitam, pembaca digiring ke lorong berliku-liku dalam mengungkap rahasia tersembunyi di balik kematian seniman istana.
Kepiawaian Pamuk dalam bertutur, seakan-akan mampu menghidupkan makhluk-mahkluk di lembah kematian seperti sosok mayat, hewan, warna (merah), setan sampai kuda yang berbicara sebagaimana manusia. Sejak awal (“Aku Adalah Sesosok Mayat”) hingga akhir cerita, Pamuk menyihir pembaca dengan keahlian bertutur yang cerdas, berani dan mengundang penasaran ala dongeng 1001 malam.
Dalam novel yang disiapkan selama enam tahun ini, Pamuk mampu menembus batas fiksi dan nonfiksi, dia sanggup membawa pembaca ke alam cerita yang seolah-olah nyata. Pamuk telah menunjukkan reputasi sastra yang memukau, menarik sekaligus fenomenal.
Melalui karya cemerlang ini, yang diramu dengan intrik seni dan politik, dongeng-dongeng klasik, serta kisah cinta bercabang yang getir, Orhan Pamuk pun meraih Nobel Sastra 2006 hingga ia dikukuhkan sebagai salah satu novelis terbaik dunia. (Yudhiarma)
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/
My Name is Red (Namaku Merah Kirmizi)
Sumber: h_tanzil
Sejarah mencatat, Sultan Ustmaniyah Murat III (1571-1595) dikenal sebagai sultan yang paling tertarik pada buku dan seni miniatur. Di masa kekuasaannya ia memerintahkan para miniaturis (pembuat ilustrasi buku) kenamaan di negerinya untuk membuat Kitab Keterampilan, Kitab Segala Pesta dan Kitab Kemenangan yang dikerjakan di Istanbul. Para miniaturis Ustmaniyah yang paling menonjol, termasuk Osman sang Miniaturis dan murid-muridnya, ikut andil dalam pengerjaan buku ini.
Penggalan sejarah inilah yang oleh Orhan Pamuk (54 thn) – peraih nobel sastra 2006 asal Turki dijadikan sebagai ide utama novel My Name is Red . Dikisahkan saat itu Sultan menugaskan Enisthe Effendi salah seorang miniaturis terkenal untuk membuat sebuah buku rahasia yang dihiasi ilustrasi-ilustrasi indah untuk merayakan kejayaannya. Tindakan sultan ini diluar kewajaran karena biasanyaTuan Osman selaku Iluminator Kepala Istanalah yang diberi wewenang untuk mengerjakan buku-buku Sultan. Dalam mewujudkan proyek sultan ini Enisthe dibantu oleh empat miniaturis lainnya yang masing-masing dikenal dengan julukan ; Elok, Zaitun, Bangau, dan Kupu-kupu.
Novel ini diawali dengan terbunuhnya Elok , salah satu dari keempat miniaturis yang bekerja dibawah pimpinan Enisthe Effendi. Pembunuhan ini menimbulkan keresahan diantara para miniaturis lainnya karena mereka mennganggap hal ini ada kaitannya dengan proyek pengerjaan buku Sultan yang dibuat dengan gaya Eropa yang pada masa itu dianggap sebagai penistaan terhadap ajaran Islam.
Lalu dikisahkan Hitam, salah satu murid dan keponakan Enisthe kembali ke rumah pamannya sepulang dari pengelanannya ke berbagai tempat selama dua belas tahun. Sejak lama Hitam telah menaruh hati pada Shekure, putri “Enisthe”-nya. Sepulang dari pengelanaannya pun ia masih menyimpan cintanya pada Shekure. Sayangnya Shekure telah menikah dan mempunyai dua orang anak. Namun belum pulangnya suami Shekure selama bertahun-tahun dari peperangan membuka peluang bagi Hitam untuk merebut Shekure ke pelukannya.
Di tengah usaha Hitam merebut cinta Shekure dan belum terungkapnya siapa pembunuh Elok, Enisthe terbunuh secara mengenaskan. Namun hal ini tak menghalangi niat Hitam untuk menikahi Shekure. Dengan siasat liciknya akhirnya Hitam berhasil menikahi Shekure, namun Shekure belum mengijinkan Hitam untuk tidur seranjang dengan dirinya hingga Hitam berhasil menemukan siapa pembunuh ayahnya.
Ketika kematian Elok dan Enisthe sampai ke telinga Sultan. Ia memerintahkan Hitam selaku murid Enisthe dan Tuan Osman selaku kepala bengkel miniaturis Istana mengungkap siapa pembunuhnya. Mereka diberi waktu 3 hari untuk menemukan pembunuhnya, jika gagal nyawa mereka dan para miniaturis lainnya akan jadi gantinya.
Satu-satunya petunjuk yang ditinggalkan pembunuhnya adalah gambar seekor kuda dengan hidung yang terpotong. Hal ini menyeret ketiga miniaturis lainnya (Bangau, Zaitun, Kupu-kupu) menjadi tersangka utama. Untuk memperkaya penyelidikannya Hitam dan Tuan Osman juga diizinkan untuk masuk kedalam jantung Istana dimana terdapat ruang penyimpanan harta yang juga berisi buku-buku berilustrasi indah termasuk buku legendaris Kitab Para Raja yang dibuat dalam rentang waktu dua puluh lima tahun yang berisi lukisan-lukisan menakjubkan, yang diimpikan bisa dilihat sekali saja oleh para miniaturis selama seumur hidupnya
Novel karya peraih Nobel Sastra 2006 Orhan Pamuk My Name is Red ini bisa dikatakan novel yang kaya akan perspektif. Novel ini bisa dibaca sebagai novel sejarah peradaban islam, misteri, intrik sosial, dan teka-teki filosofis. Pamuk mengemas kisah dalam novel ini dengan sangat menarik. Narator dalam novel ini berganti-ganti dalam setiap babnya, masing-masing diberi judul sesuai dengan naratornya seperti : Aku Adalah Sesosok Mayat, Aku Akan Disebut Seorang Pembunuh, Aku Dinamai Hitam, bahkan benda-benda matipun menjadi narator dalam novel ini seperti : Aku adalah Sekeping Uang Emas, Aku Adalah Merah. dll. Masing-masing narator bertutur, bercerita dan berargumen mengenai peristiwa pembunuhan dan keadaan di sekelilingnya menurut sudut pandangnya masing-masing. Ada yang realis ada pula yang surealis. Uniknya walau si pembunuh turut menjadi narator, identitas si pembunuh tetap tak terduga hingga bab-bab terakhir.
Di halaman-halaman awal pembaca seolah diajak mengambil kesimpulan bahwa novel ini adalah novel misteri karena Pamuk membukanya dengan bab “Aku Adalah Sesosok Mayat”. Kalimat permbuka novel inipun memikat dan mengundang penasaran pembacanya karena dinarasikan oleh tokoh yang telah meninggal.
Kini aku hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di dasar sebuah sumur. Walau sudah lama sekali aku menghembuskan napas terakhirku dan jantungku telah berhenti berdetak, tak seorang pun tahu apa yang terjadi padaku, selain pembunuh keji itu. (hal 17)
Namun Pamuk tak hanya mengajak pembacanya untuk larut dalam cerita misteri pembunuhan, di bagian berikutnya pembaca diajak beralih ke kisah percintaan yang membara antara Hitam dan Shekure, lalu pembaca juga akan disuguhkan debat filosofis yang menarik akibat benturan budaya Timur dan Barat khususnya dalam hal gaya melukis dimana di jaman itu melukis dengan gaya kaum Frank (Eropa) yang menggunakan metode perspektif tiga dimensi dimana benda digambar sebagaimana terlihat oleh mata telanjang dianggap penistaan terhadap agama islam yang hanya boleh membuat gambar/lukisan dengan teknik dua dimensi saja.
Namun yang mengejutkan dari semua itu – sebuah akibat yang wajar dalam memperkenalkan pemahaman Frank dalam lukisan kita – adalah menggambarkan potret sultan kita dengan ukuran sesungguhnya, dan wajahnya dilukiskan dengan semua detailnya! Tepat seperti yang dilakukan para pemuja berhala. (hal 684)
Hal ini menimbulkan pro dan kontra, sebagian miniaturis khususnya mereka yang ditugaskan membuat buku Sultan mau tak mau harus membuat lukisan dengan gaya barat sesuai dengan arahan Enishte, namun sebagian miniaturis senior menolak melukis dengan gaya ini dan rela membutakan matanya sendiri agar tak terpengaruh oleh lukisan gaya Eropa.
Selain kisah misteri, roman, debat budaya dan filosofis, pembaca juga akan disuguhkan detail-detail menarik tentang estetika seni hias buku sehingga keeksotisan buku-buku berilustrasi yang dibuat di abad 16 dimana semua buku diberi ilustrasi oleh tangan-tangan terampil para miniaturis terungkap secara indah. Tak ketinggalan beberapa kisah dongeng klasik dunia Timur juga terceritakan di novel ini.
Kesemua elemen di atas membentuk novel ini menjadi rangkaian cerita yang menarik dan enak dibaca. Semua itu diramu secara puitis dan romantis dengan cinta, seks, dan drama.
Beragamnya tokoh-tokoh yang masing-masing menjadi narator dalam buku ini walau awalnya tampak berdiri sendiri, kelak Pamuk akan menyatukan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan memberikan kejutan yang tak terduga di akhir ceritanya.
Satu hal yang mungkin akan menjadi pertanyaan pembacanya adalah judul buku ini “My Name is Red (Namaku si Merah Kirmizi), siapa dan apa sebenarnya yang dimaksud si “Merah” dalam judul buku ini ? Memang ada bab tersendiri dimana si Merah ini digambarkan sebagai warna dalam arti yang sesungguhnya. Namun rasanya tak cukup menjelaskan apa dan siapa Merah yang dimaksud dalam judul buku ini. Tampaknya Pamuk sengaja mengajak pembacanya untuk menafsirkan sendiri apa, siapa dan mengapa novel ini diberi judul My Name is Red ?
Rasanya membaca sekali saja novel ini tidaklah cukup, banyak detail-detail menarik yang tetap mengasyikan untuk dibaca berkali-kali. Dan lagi novel ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, tak ditemukan kejanggalan dalam alih bahasanya. Salut untuk kerja keras penerjemah dan editor novel ini (Atta Verin & Anton Kurnia) yang tampaknya telah berhasil mengalih bahasakan novel tebal yang menarik ini dengan baik.
Sedikit yang mungkin dapat menjadi halangan terbacanya novel ini adalah harganya yang relatif mahal (Rp. 89.900,-). Mungkin penerbit perlu lebih menyiasati agar novel yang kaya akan perspektif ini dapat dijual dengan harga yang lebih bersahabat sehingga dapat terjangkau dibeli dan dibaca oleh semua pecinta sastra.
Novel yang berjudul asli Benim Adim Kirmizi yang dikerjakan oleh Orhan Pamuk (penulis asal Turki) selama 6 tahun ini terbit pada tahun 1998. Pada tahun 2001 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Erdgar M. Goknar sebagai My Name is Red. Tampaknya novel ini diapresiasi dengan baik oleh khalayak sastra dunia, setidaknya novel ini telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan dianugerahi berbagai penghargaan sastra internasional, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2002 (Perancis), Premio Grinzane Cavour 2002 (Italia), dan IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia). Dan sebagai puncaknya novel ini pula yang turut mengantar Pamuk sebagai peraih nobel Sastra 2006.

Another Indonesian Books
Another Novel Book
Download

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails

Put Your Ads Here!